Minggu, 15 Juni 2008

Memahami Konflik Timur Tengah

Makalah ini sebenarnya, sebuah pemaparan singkat yang sebenarnya sudah saya rencanakan seiring dengan keingintahuan saya pada konflik yang terjadi di wilayah itu yang saat ini umat islam khususnya hanya memahami dari satu sudut pandang saja yaitu konflik agama. Namun, semangat untuk menulis makalah ini begitu terpacu ketika saya membuka website friendster saya yang ketika itu ada bulletin singkat saudara Januar Saleh (Sekum HMI Kapal) yang berudul EURO. Saya tidak sengaja membuka bulletin itu, maklum judul nya EURO yang membuat naluri sepak bola saya muncul teringat EURO yang sebentar lagi akan dimulai di Swiss dan Austria. Namun, setelah saya buka saya tercengan dengan uraian singkat yang dibagian terakhir muncul pertanyaan dari saudara Januar terkait konflik timur tengah, kalau tidak salah konflik ideology? Itulah yang semakin memacu saya untuk mencoba menyumbangkan ide dan sedikit memberikan jawaban atas persoalan tersebut yang tidak lain adalah wilayah studi saya yaitu hubungan internasional. Oleh sebab itu saya akan mencoba memaparkan makalah singkat yang saya usahakan untuk semampu saya dan siapa tahu dapat memberikan wawasan dan ‘membuka mata’ kepada rekan HMI sekalian atau siapa saja yang tertarik kajian hubungan internasional.
Selama ini juga, permasalahan timur tengah selalu menjadi isu dunia yang hangat di sebagian besar umat Islam dunia. Tak terkecuali umat Islam di Indonesia yang dipelopori oleh sebagain saudara-saudara kita yang sangat intens untuk mengusung isu itu supaya pihak-pihak yang bertikai menyelesaikan konflik sesegera mungkin. Apalagi persoalan Palestina, hamper pasti selalu menjadi acuan ‘pergerakan’ dalam menyuarakan ide. Apakah hal itu salah? Sama sekali tidak. Namun, saya menganggapnya kurang proporsional, mengingat masalah yang terjadi sangat kompleks. Apalagi jika hal itu dilihat sebagai persoalan ideology, sangat dilematis sekali walaupun hal itu ada kontribusi dalam menghasilkan konflik itu. Namun signifikansinya tidak sebesar yang kita perkirakan selama ini. Wallohu’alam.

I.PENDAHULUAN
Wilayah timur tengah (middle east) selama ini seakan tidak lepas dari hingar-bingar konflik dan kekerasan yang selalu menghiasi setiap head line media-media seluruh dunia. Padahal jika kita lihat lebih jauh disitulah agama-agama semit lahir, yaitu Islam, Kristen, Yahudi. Selain itu juga terdapat tempat suci yang di klaim ketiga agama itu yaitu Jerussalem. Sangat ironis tempat lahirnya agama yang mengajarkan kedamaian kepada setiap umatnya menjadi wilayah yang nyaris jarang terdengar kata perdamaian. Namun disisi lain timur tengah, yang tandus ternyata dianugrahi Allah kaya akan sumberdaya mineral yaitu minyak bumi yang menghasilkan uang berlipah dan membuat bangsa manapun ‘ngiler’.
Konflik di timur tengah pada abad modern ini, sebenarnya sudah dimulai sejak perang dunia I dimana konfigurasi politik jazirah arab waktu itu menjadi berubah setelah runtuhnya Kekhalifahan Usmani di Turky. Kekosongan kekuasaan (vacuum of power) itu akhirnya diambil alih British sebagai pihak pemenang PD I yang tentunya atas bantuan Amerika Serikat dan sekutunya.i
Potensi ketegangan di timur tengah semakin terlihat setelah imigrasi besar-besaran entik Yahudi dari eropaii yang waktu itu tersingkir oleh rejim Nazi di Jerman yang terkenal dengan peritiwa holocausts. Immigrant itulah yang menempati daerah yang sekarang menjadi Negara Israel dan Palestin.
Konflik antara Israel dan Palestine sebagai isu dominan, adalah lahir dari konflik antara Negara-negara Arab dengan Israel yang kemudian dikenal dengan perang Arab-Israel. Selanjutnya, konflik-konflik terus bermunculan seiring dengan semakin banyaknya Negara yang ikut campur di kawasan ini. Sselain itu semakin meningkanya ‘kekuatan’ Negara-negara Arab sendiri serta berbagai situasi politik dalam negeri Negara-negara tersebut juga sebagai faktor yang menentukan terjadinya konflik di wilayah itu. Konflik tersebut diantaanya, Perang Iran-Iraq (1980-1988), Konflik Iraq – Kuwait (Agustus 1990-Januari 1991) dan Pendudukan Uni Soviet di Afganistan.
Semua konflik-konflik tersebut tidak lain adalah dampak dari struktur politik dunia (international system) yang mengendaikan konfigurasi polotik global oleh kekuatan besar (super power) yang merupakan sebagian dari edisi perang dingin.iii
II.TINJAUAN TEORI
Dalam Teori hubungan internasional, dikenal beberapa paradigm teori yang dijadikan sebagai pisau analisa para pengamat politik antar bangsa dalam menganalisa setiap peritiwa penting di level politik internasioal. Tentu saja paradigma tersebut tidak selalu tepat dalam penganalisaannya, karena akan sangat tidak memadai jika hanya melihat dari satu aspek teori saja.iv Salah satu aspek penting yang perlu dilihat adalah konfigurasi politik global yang merupakan hasil dari kebijakan luar negeri negara-negara besar (core country) yang menghegemoni sistem politik dunia.
Diantara paradigm itu adalah Teori Realisme, Pluralisme dan Globalismev. Realisme menekankan kepada pendekatan kekuatan milier sebagai solusi setiap ketegangan, sehingga isu-isu keamanan menjadi sangat penting dalam paradigma ini. Puralisme lebih menekankan pada aspek ekonomi dan sosial dalam melakkan pendekatan konflik, sehingga isu-isu kerjasama lebih penting dari pada militer. Sedang Globalisme muncul sebagai akibat dari rasa frustrasi kaum sosialis atas kesuksesan kaum kapitalis dalam hal kesejahteraan, sehinga jargon-jargon semisal ekploitasi dan persamaan kelas ala Marx menjadi penting.vi
Sistem politik dunia yang dikendalikan oleh negara besar (core) jelas sangat merugikan negara kecil apalagi berkembang (periphery) yang selalu akan menjadi objek kebijakan serta seakan tidak mempunyai pilihan atas situasi itu. Belum lagi kekhawatiran akan dampak kebijakan itu, termasuk pengambilan keputusan yang tepat dalam menyikapi situasi global. Namun, selama era perang dingin, situasi gobal relative aman terkendali mengingat kekuatan dunia waktu itu hanya terbagi oleh AS (kapitalis) dan Uni Soviet (Komunis) atau dikenal dengan sistem bipolar.vii Walau tentu saja konflik-konflik kawasan masih selalu terjadi.
Sebagai bagian sistem global, Negara-negara non power selalu dihadapkan pada beberapa pilihan dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya. Pilihan dan langkah yang tepatlah yang akan memposisikan sebuah Negara dapat diterima di pergaulan internsaional atau tidak. Pilihan yang tepat itulah yang memaksa untuk melakukan berbagai evaluasi sebelum membuat kebijakan luar negeri. Bedasarakan Teori kebijakan luar negri, James N Rosenauviii setidaknya memberikan beberapa aspek yang peru dipehatikan dalam menentukan kebijakan luar negri. Menurut Rosenau aspek –aspek tersebut adalah Idiosyncratic (gaya kepemimpinan), Role (sistem politik), Government (sistem pemerintahan), Societal(Situasi dalam negeri), Systemic(situasi politik global)ix.
Namun, dalam ruang yang terbatas ini penulis hanya sekedar memberikan sedikit gambaran terkait dengan konflik timur tengah sebagai tema bahasan kita. Dalam konflik timur tengah, pada intinya peran kepentingan dan kekuatan hegemoni sebagai pemegang struktur global (systemic) dalam hal ini Amerika dan sekutunya termasuk Uni Soviet, sangat besar dalam mempengarugi konfigurasi politik timur tengah. Disamping idiosyncratic (gaya kepemimpinan) serta struktur politik Negara-negara Arab cukup besar pula dalam mempengaruhi peta politik timur tengah. Termasuk faktor ideology, dalam hal ini konflik agama (Islam-Yahudi) juga tidak dapat dipandang sebelah mata dalam membentuk struktur politik, minimal dari sudut pandang masing-masing Negara yang bersangkutan.

III.ANALISA KONFLIK
a.Israel – Palestine
Seperti dijelaskan pada pendahuluan diatas, bahwasannya sebenarnya konflik antara bangsa Yahudi sebelum membentuk Israel dimulai ketika imigrasi besar-besaran etnik Yahudi dari Eropa yang terdesak rejim Hitler.
“Dengan berdatangannya bangsa Yahudi ke Palestina secara besar-besaran, menyebabkan kemarahan besar penduduk Palestina. Gelombang pertama imigrasi Yahudi terjadi pada tahun 1882 hingga 1903. Ketika itu sebanyak 25.000 orang Yahudi berhasil dipindahkan ke Palestina. Mulailah terjadi perampasan tanah milik penduduk Palestina oleh pendatang Yahudi. Bentrokan pun tidak dapat dapat dihindari. Kemudian gelombang kedua pun berlanjut pada tahun 1904 hingga 1914. Pada masa inilah, perlawanan sporadis bangsa Palestina mulai merebak”x
Keberhasilan etnik Yahudi membentuk sebuah ‘Negara’ tidak lepas dari usaha Mereka yang hebat dalam ‘melobi’ para pemegang struktur politik dunia termasuk AS, Inggris dan Perancis sebagai blok sekutu. Adalah Teodor Herzl yang disebut-sebut sebagai ‘bapak bangsa’ (founding fathers) nya Israel dengan perjuangan dan proses yang panjang termasuk penerbitan ‘Protokol Zionisme’ oleh Prof. Nilus dalam sebuah buku sebagai ‘doktrin gerakan’ berhasil melobi Negara-negara tersebut hingga akhirnya dipilihlah bumi Palestina sebagai pilihan utama etnik Yahudi setelah ditawarkan beberapa wilayah pilihan semisal Argentina dan Uganda. Namun Palestina dipilih karena kedekatan historis Yahudi sendiri dengan daerah tersebut.xi
Dengan ’melobi’ Inggris mereka akhirnya menghasilkan sebuah perjanjian rahasia yang disebut dengan Sykes Picot tahun 1915 yang selanjutnya menghasilkan sebuah Deklarasi Balfour pada tahun 1917 agar Yahudi mempunyai tempat tinggal di Palestina. Tidak berhenti disitu, Israel terus melakukan ’lobi’ hingga level Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tentu saja atas bantuan AS, sehingga keluarlah Resolusi DK PBB No. 181 (II) tanggal 29 November 1947 yang memberikan mandat kepada Inggris untuk membagi wlayah palestine menjadi tiga bagianxii mulai saat itulah perlawanan-perlawanan muncul sehingga memunculkan solidaritas dari beberapa kelompok dan negara Arab termasuklah Al Ikhwan Al Muslimun yang disaat bersamaan dibubarkan oleh pemerintah Mesir memperkuat dukungan di tepi barat. Kelompok inilah yang akhirnya membentuk HAMAS (Harakah al-Muqawwah al-Islamiyah) atas prakarsa Syaikh Amad Yassin yang ’lahir’ dari ikhwan al muslim.xiii Sedang diwilayah yang berbatasan dengan Yordania bantuanpun mengalir dari negara itu walaupun Secara rahasia. Selanjutnya Israel pun juga ber konflik dengan Lebanon terkait dengan ’pencaplok’ annya atas wilayah sekitarnya semisal dataran tinggi Golan dari Syria dan Semenanjung Sinai dari Mesir serta keterlibatannya dalam konfik terusan Suez.xiv
Sehingga dapat dikatakan peran Inggris dan Amerika sangat besar dan paling bertanggung jawab dalam pembentukan Israel dan konfik timur tengah. Artinya, secara tidak langsung memang Israel adalah dikehendaki untuk dibentuk oleh negara-negara besar tersebut, walaupun konsekuensi yang terjadi sangat memilukan dan menafikkkan sisi-sisi kemanusiaan.
Terlepas dari hal tersebut, geo politik timur tengah dan kekayaan sumberdaya sudah tentu menjadi prioritas dari hal itu semua. Apalagi pembukaan pembangunan terusan Suez oleh Inggris dan Perancis pada abad 19, dapat dipastikan Mereka telah merencanakan untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai kawasan strategis bagi lalu lintas perdagangan dunia. Artinya, menurut penulis, sejak awal wilayah Timur Tengah memang sudah menjadi perhatian serius Negara-negara Inggris dan Amerikdalam mengatur geo politik dunia untuk mencapai kepentingan Mereka termasuk rencana pembentukan Negara Israel. Terlepas itu dari hasil ‘kerja keras’ bangsa Yahudi sendiri, minimal Mereka sudah ‘ada rencana’ untuk ‘mengontrol’ timur tengah yang kaya minyak itu. Sebenarnya, pembentukan Negara Israel dapat dicegah apabila seandainya seluruh Negara Arab bersatu menentang pembentukan itu termasuk mengadakan pemboikotan terhadap datangnya imigran Yahudi dari penjuru dunia.xv Namun sayang sejarah tidak mengenal kata ‘seandainya’.
b.Iran – Iraq (1980-1988)

Begitu juga dengan konflik Iran-Iraq, peran Amerika sangat besar dalam membentuk struktur politik timur tengah pada waktu itu. Sudah dapat kita tebak, bahwasannya minyak adalah incaran utama AS. Perlu diketahui bahwa Iran adalah Negara penghasil minyak terbesar setelah Arab Saudi. Selain itu, motivasi dari kedua Negara yang ingin ‘memimpin’ timur tengah patut menjadi perhatian mengingat sumberdaya Mereka yang begitu besar sangat berpotensi menjadi hegemoni baru yang berarti mengancam Amerika.

Kondisi politik dalam negeri kedua Negara juga mendukung, apalagi Iran dalam masa Revolusi Islam di bahaw Khomaeni semakin gencar menjadi kekhawatiran tersendiri dari Amerika yang berpotensi untuk menjadi hegemoni baru termasuk Iraq sendiri yang khawatir revolusi itu akan menggilas Iraq yang sudah di ‘cap’ Sunni oleh Khomaeni. Bahka dengan lantang mengatakan “Iran would not end the war until the downfall of President Saddam Hussein”!xvi

Disini terjadi ‘keanehan-keanehan’ meminjam istilah Harsutejoxvii dalam menganalisa peran CIA (agen AS) dan M16(Agen Inggris) dalam coup 1965 di Indonesia. Keanehan tersebut adalah perbedaan peran Amerika dan Israel dalam terjun di konflik Iran-Iraq. Keanehan itu tampak pada dukungan AS kepada Iraq beserta Arab Saudi dan disisi lain Israel mendukung Iran diikuti Syria. Apakah dasar dukungan negara-negara tersebut? Secara singkat sebenarnya dapat dilihat bahwa Saudi jelas memiliki kedekatan historis dengan Iraq dari pada Iran yang Syiah. Amerika justru pada pilihan yang sulit, sebab keduanya sangat berpotensi untuk ’menyingkirkan’ AS di timur tengah (sekarang mulai terbukti dengan munculnya Iran), pilihan yang sulit itu jatuh ke Iraq yang mana ’kebencian’ ke Iran lebih tinggi mengingat kekhawatiran akan dampak Revolusi Iran, apalagi dalam menggulingkan Shah Iran yang sangat dekat dengan AS. Syria, jelas secara geografis berbatsan dengan Iraq, secara kalkulasi akan sangat berbahaya jika Iraq menang, maka sudah dapat dipastikan Syria akan di’lumat’Iraq. Jalan terbaik adalah membantu Iran yang secara geografis sangat jauh dengan Syria, meskipun tidak dapat disangkal kedekatan Ideologi (Syiah) sedikit banyak berpengaruh. Artinya, Syria meganut prinsip ’the enemy of my enemy is my friends’. Bagaimana dengan Israel? Israel justru mendukung Iran, mengapa? Karena Israel memandang Iraq lebih berbahaya jika menang atas Iraq, namun disini prinsip ’balance of power ’ bermain. Artinya AS mendukung Iraq untuk melemahkan Iran dan Israel mendukung Iran untuk melemahan Iraq.xviii


c.Iraq – Kuwait
Dalam konflik Iraq – Kuwait juga tidak lepas dari campur tangan AS pada akhirnya. Walaupun ’niat’ pertama Iraq melakukan invasi jelas bahwa Iraq berkepentingan atas Kuwait yang juga kaya minyak. Iraq mengklaoim bahwa Kuwait merupakan bagian dari wilayahnya.xix Namun, pada akhirnya pun AS ’turun tangan’ dengan menerjunkan paukannya yang sangat terkenal dengan sebutan ’gulf war’ atas inisiatif G W Bush senior.
Dari hal tersebut dapat kita lihat bagaimana kuatnya kepentingan AS atas wilayah tersebut. Mengingat dengan munculnya Iraq sebagai kekuatan baru di Timur Tengah, sangat dikhawatirkan AS karena jelas dominasi dan hegemoni AS di Timur Tengah akan berkurang atau mungkin akan hilang jika Iraq benar-benar menjadi penguasa wilayah ini. Dan memang benar, AS mendapatkan moment yang tepat seiring dengan invasi ke Kuwait, maka secara tidak langsung mendapatkan alasan yang tepat untuk menyerang Irak dengan alasan membantu Kuwait dan menyelamatkan perdaimaian. Tentu saja hal tersebut juga mendapatkan restu dari DK PPB.
Perlu diingat juga disaat yang bersamaan, AS juga telah menjalin kerjasama dengan Iraq, namun mengapa tiba-tiba menyerang Iqar dengan alasan membebaskan Kuwait? Inilah peran hegemonic power benar-benar menunjukkan ambisinya. Mungkin benar yang dikonsepkan dalam teori realismexx yang mengatakan bahwa efektifitas pendekatan militer masih relevan pada saat ini walaupun setelah perang dingin banyak pengamat mengatakan bahwa orientasi polotik AS lebih mengarah ke isu demokrasi dan HAM , namun setelah peristiwa penyerbuan ke Iqar pada 1990 dan penyerbuan ke Iqar setelah peristiwa 11 September semakin meyakinkan kita bahwa arogansi AS sebagai hegemoni tunggal semakin nyata. Ironisnya berbagai penyerangan yang dilakukan selalu tidak ada alasan yang jelas, semisal penyerbuan ke Iraq tahun 2001 yang disinyalir memiliki bom biologis sampai sekarang masih belum terbukti.

IV.DISKUSI

Pada tahun 1993 jurnal ilmiah Foreign Policy di Amerika Serikat menerbitkan sebuah artikel Samuel P Huntington seorang guru besar di Universitas Harvard dengan judul Clash of Civilization? Yang menjadi perdebatan serius para ahli dan tokoh social yang merasa tersinggung atas analisa Huntington, hingga jurnal itu merasa perlu untuk melakukan liputas khusus atas berbagai diskusi tersebut.xxi Dan setelah beberapa tahun kemudia tepatnya 1996 Huntington meluncurkan buku nya tersebut sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya, dengan judul yang sama.

Memang benar buku tersebut sangat tendensius terutama pengkategorian konflik-konflik di dunia sekarang dan akan dating lebih didominasi oleh benturan antar peradaban. Selain itu juga dikotomi istilah barat dan timur semakin mengarah pada Amerika sebagai hegemoni tunggal, walaupun termasuk eropa. Lebih penting dari itu, Huntington menegaskan benturan yang terjadi diarahkan pada penciptaan ‘musuh baru’ setelah komunis runtuh. Tidak lain dan tidak bukan Islam menjadi sasarannya yang kemungkinan besar akan berkoalisi dengan Confucianism China dan diperkirakan AS lebih mengancam. Spontan saja Islam menjadi ‘korban’ dan merasa bahwa sewaktu-waktu mungkin akan benar-benar diserang. Namun, juga terjadi ketidak jelasan Islam sebagai sebuah ajaran agama mengapa harus terlibat vis a vis dengan politik Internasional. Bukankah para actor hubungan Internasional adalah para Negara-negara?

Huntington melihat bahwa konflik yang akan terjadi ditimbulkan oleh aliansi-aliansi Negara-negara berdasarkan background culture atau latar belakang ideology. Sehingga motivasi kerjasama berlandaskan persamaan budaya itulah yang menurutnya akan mengancam eksistensi Amerika (Huntington lebih sering menggunakan istilah barat dari pada AS) sebagai hegemoni tunggal saat ini. Termasuk dilemma kasus keikutsertaan Turki kedalam Uni Eropa yang banyak ditentang anggota lain yang menganggap Turki yang sangat ‘berbeda’ dengan Eropa dari segi budaya (baca : Islam), namun ironinya Turki terlanjur menjadi anggota NATO.

Tesis Huntington memang sangat tendensius, dan itu bukanlah tanpa alasan karena Olin Institute yang membiayai penelitian Huntington tidal lain adalah dan dari pemrintah AS. Dan tentunya pihak AS merasa yang paling di ‘amini’ oleh tesis Huntington inixxii Namun setelah peristiwa 11 September tampaknya tesis Huntington semakin kabur, sebab pada awal serangan mungkin Osamah Bin Laden tersudut pada personifikasi Islam yang seperti perkiraan Huntingotn, adalah memang benar bahwa hal itu dilakukan karena tendensi agama (Islam) dan dikuatkan juga dengan pernyataan Bin Laden sendiri yang sering sekali menggunakan referesi Al Quran dan Hadist sebagai ‘battle cry’ serangan itu. Hal itu juga yang seakan semakin menguatkan tesis Huntington bahwa memang terjadi benturan peradaban.

Namun, tragedi 11 September 2001 membalik semua kecenderungan yang ada. Seolah mendapat alasan dan keharusan baru, peristiwa tersebut menjadi faktor signifikan bagi penguatan hegemoni AS, yang dimanifestasikan dalam bentuk kehadiran dan peran global AS dalam pentas politik internasional secara lebih dominan. Serangan teroris 11 September memperkuat keyakinan para pemimpin AS bahwa kepentingan keamanan negara itu tidak dapat dilepaskan dari situasi keamanan global, yang pada gilirannya menuntut penguatan posisi hegemoni AS dan keterlibatan luas dalam percaturan politik internasional. Penguatan itu tampak jelas antara lain dalam dua aspek, yakni respon AS terhadap terorisme pada tataran umum, dan invasi ke Afghanistan dan Irak pada tataran khusus.xxiii

Setelah peristiwa itu seakan AS lagi-lagi mendapatkan moment yang tepat untuk melanjutkan aksinya dengan slogan ‘perang terhadap terorisme’. Mungkin juga penyerbuan ke Afganistan ‘sedikit’ dimengerti mengingat AS sudah meng klaim negar ini sebagai basisnya Osamah Bin Laden, walaupun juga tidak disetujui oleh DK PBB dan banyak pertentangan dari berbagai Negara. Namun, setelah penyerbuan ke Iraq, penuh dengan kontroversi dan ketidak jelasan alasan serangan itu. Semakin jelas bahwa keinginan yang kuat AS untuk menguasai Timur Tengah sebagai ladang minyak menjadi semakin nyata.

Ketiga, ditambah dengan adanya kecenderungan yang mengaitkan Islam dengan terorisme di kalangan para pengambil kebijakan di AS, tatanan politik global semakin diperumit oleh ketegangan antara AS dengan negara-negara Islam ataupun negaranegara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Kehati-hatian dari negara-negera berpenduduk mayoritas Muslim dalam merespon persoalan terorisme ini kerap menimbulkan kecurigaan dari AS, dan bahkan tidak jarang melahirkan tekanan-tekanan politik yang tidak mudah untuk dihadapi. Akibatnya, pemerintah di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim kerap dihadapkan kepada dilema antara "kewajiban" memberantas terorisme di satu pihak dan keharusan untuk menjaga hak-hak konstituen domestik di lain pihak. Dengan kata lain, kebijakan "perang terhadap terorisme" yang dijalankan AS telah menimbulkan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antara pemerintah dan kelompok-kelompok Islam di banyak negara Muslim. Sampai sekarang, AS tampaknya masih mengalami kesulitan dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan “perang melawan terorisme” yang tidak menimbulkan komplikasi dalam hubungannya dengan Dunia Islam.xxiv

Dengan demikian melalui tulisan yang singkat ini, kita dapat melihat beberapa analisa terkait dengan perubahan – perubahan kebijakan AS dan kepentingannya dalam keterlibatan dengan berbagai konflik diberbagai belahan dunia. Sebagai adi daya tunggal tampaknya AS demikian berambisi untuk menguasai wilayah-wilayah penting sebagai penopang kedigdayaannya. Kecenderungan yang berlainan pandangan dalam melihat konflik timur tengah adalah bukti nyata campur tangan AS sangat kuat di wilayah ini. Kemunculan Negara-negara ‘mamap’ baru semisal Kuwait, UAE, Qatar dan dukungan yang begitu kuat terhadap Israel serta kerjasama yang ‘intim’ dengan Saudi, Mesir dan Yordania tidak lain adalah bagian dari kebijakan politik AS yang menghegemoni wilayah kaya minyak ini.

Ironisnya lagi ‘teriakan’ rakyat Palestine seperti gaung di padang pasir yang nyaris tak terdengar! Oleh AS dan dunia internasional bahkan tetangganya sendiri Arab Saudi, Mesir dan Yordania yang berbatasan langsung dengan Palestine dan Israel. Sebenarnya di Timur tengah ada Liga Arab (Arab League) sebagai wadah perkumpulan bangsa Arab, namun bagaimanapun juga ibarat macan di kebun binatang hanya menjadi permainan pawangnya dan anak kecil sebagai penontonnya. Pawangnya adalah AS yang memang sebagai ‘mengontrol’ Timur Tengah dan anak kecil itu ibarat tetangga Palestine yang diam saja sambil tertawa.

V.MUHASABAH

Banyaknya konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, memang sesuatu yang sunnatullah. Tidak lain karena manusia itu sendiri yang atas kehendak Allah juga diciptakan berbeda satu sama lain. Tentu saja keinginan setiap kepala juga berbeda-beda. Sejak bapak pertama manusia yaitu nabiullah Adam AS, konflik sudah dimulai antara Qobil dan Habil yang tidak lain karen ambisi pribadi masing-masing yang ingin menang atau bahasa sekarang menghegemoni manusia lain.

Terlepas dengan sunnatullah sebagai sesuatu yang given dari Allah, tentunya ada sesuatu yang seharusnya dikoreksi pada manusia itu sendiri yaitu hawa nafsu (objectivism). Dimana, Karen nafsu manusia itu sendiri yang cenderung kearah mengutamakan kepentingan sendiri maka seringkali pula merugikan manusia lain. Koreksi (arab : muhasabah) yang dilakukan tentu saja sebagai bahan rujukan atas kesalahan yang telah dilakukan agar menghasilak perbaikan. Karena tidak lain manusia itu sendiri sangat berpotensi untuk berbuat salah. Sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran Al in saanu mahal ul hatha’ wa annis yaan (manusia tempatnya salah dan alpa) didukung juga dengan seruan Nabi, yang artinya kurang lebih “setiap bani Adam adalah berpotensi berbuat salah namun sebaik-baik kesalahan adalah yang segera bertaubat”. Sayang, AS tidak segera sadar dan ‘bertaubat’ atas kesalahannya dan keserakahannya. Wallohu a’lam.

Billahi Taufiq Wal Hidayah.
Oleh Ali Maksum, mantan Sekretaris Umum HMI Komisariat Perkapalan (2005-2007)

Tidak ada komentar: